28 May 2015

Potret Kerukunan antar Agama Masyarakat Sijuk

Perubahan sosial dan perbedaan keyakinan yang terjadi dalam masyarakat Sijuk tidak diikuti oleh keinginan untuk saling mengusik. Kerukunan beragama masyarakat Sijuk tercermin dari keberadaan tempat ibadah yang saling berdekatan dan lestari hingga kini.

Desa Wisata Sijuk terletak di utara Pulau Belitung, merupakan sebuah desa tua yang telah dikenal pada masa berkembangnya kerajaan lokal di Pulau Belitung. Wilayah Sijuk dikepalai oleh seorang Ngabehi bergelar Ngabehi Mangsa Yuda atau Krama Yuda. Gelar ini dihapuskan pada tahun 1890, dan Sijuk menjadi bagian dari wilayah distrik Tanjungpandan, dibawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Kini Sijuk merupakan wilayah kecamatan yang membawahi delapan desa, dengan ibukota kecamatan terletak di Desa Sijuk. Nama Sijuk, menurut cerita tutur setempat, berasal dari kata Sejuk, mengandung arti yang sama dengan kata sejuk dalam bahasa Indonesia sekarang.

Masyarakat Sijuk dulunya bertempat tinggal di keleka’ (rumah di tengah hutan dengan pekarangan yang ditanami pepohonan buah-buahan), yang saling berjauhan. Akhir abad ke-19, Asisten Residen Ecoma Verstage mengatur penduduk untuk tinggal dan membangun rumah di sepanjang sisi jalan yang baru dibangun, yang menghubungkan Tanjungpandan dengan Sijuk. Kini jejak rumah-rumah dengan artsitektur khas Belitung masih banyak terlihat di sepanjang Jalan Sijuk dan di Desa Sijuk sendiri. Kekayaan arsitektur ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Sijuk, dan menjadi keunikan Sijuk sebagai Desa Wisata yang mencerminkan budaya khas Belitung.

Dalam sejarahnya, penduduk asli Sijuk adalah etnis Melayu, sebagaimana tempat-tempat lain di Belitung. Ngabehi Sijuk pernah menjadi daerah perdagangan yang ramai dengan sebuah dermaga yang dilengkapi pasar di muara Sungai Sijuk. Perubahan besar pada wilayah ini terjadi pada masa kolonial, ketika Pelabuhan Sijuk menjadi tempat keluar-masuknya imigran-imigran Cina untuk dipekerjakan sebagai pekerja di pertambangan timah Belanda di Belitung. Berbagai barang kebutuhan Belanda juga didatangkan melalui pelabuhan ini. Komoditi yang terkenal pada masa itu adalah candu.

Mesjid Sijuk

Masjid Sijuk terletak di kawasan pemukiman lama yang disebut Kampong Ulu, dan diperkirakan sebagai pusat pemukiman Sijuk di masa lalu. Merupakan satu-satunya mesjid tua di Belitung yang masih bertahan hingga kini. Menurut cerita tutur setempat, mesjid ini  dirintis tahun 1817 oleh Tuk Dong dan penduduk Sijuk masa itu, sedangkan Islam mulai tersiar di Belitung sekitar abad ke-18. Ciri tradisional mesjid ini tampak pada bentuk atap bertumpang dua yang terbuat dari genteng tanah liat, dan bahan bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu. Meski sudah beberapa kali direnovasi, keaslian bentuk mesjid ini tetap dipertahankan. Kini mesjid tua Sijuk dinamakan Mesjid Al Ikhlas, dan terus dikembangkan susuai kebutuhan peribadatan dan wisata religi. Dilengkapi dengan shelter, toilet, dan tempat parkir, dengan jarak kurang dari 1 km dari kelenteng Sijuk.

Kelenteng Sijuk

Kelenteng Sijuk terletak di di Kampong Ilir pada kawasan yang pada periode kolonial  berkembang sebagai daerah pasar dan pelabuhan yang ramai. Merupakan pusat pemukiman etnis Cina di masa lalu sehingga dinamakan Kampong Cina. Keberadaan kelenteng ini tak terpisahkan dari kedatangan orang-orang Hakka yang didatangkan Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli-kuli di pertambangan timah Belitung, yang dimulai pada tahun 1853. Mereka masuk ke Belitung melalui pelabuhan Sijuk yang terletak di sisi barat Sungai Sijuk berseberangan dengan kelenteng ini.Kelenteng Sijuk menempati dataran tinggi di sebelah timur Sungai Sijuk, sehingga dari kelenteng ini dapat terlihat suasana di hilir Sungai Sijuk. Bangunan kelenteng didominasi warna merah dengan arsitektur yang sarat dengan filosofi Cina. Sepasang pagoda menyambut beberapa langkah di depan bangunan utama, di mana terdapat sebuah meja altar untuk meletakkan patung dewa, hio, dan berbagai property peribadatan. Kompleks Kelenteng Sijuk sudah dilengkapi dengan shelter, taman, dan area parkir yang cukup luas. Bangunan ini juga terpelihara dengan baik dan masih dipergunakan untuk peribadatan kaum Tionghoa Sijuk dan Belitung pada umumnya.

Pura Dusun Balitung

Letak Dusun Balitung tidak jauh dari kawasan pantai-pantai indah yang ada di Desa Sijuk. Sebuah gapura khas Bali akan menyambut begitu memasuki kampung ini. Masuk lebih ke dalam, akan disajikan pemandangan pura-pura yang berdiri megah di pinggir jalan. Selain itu, rumah-rumah dengan sentuhan Bali juga bisa dilihat di sini. Setidaknya ada 4 Pura di dusun Balitung yaitu Pura Puseh Desa Giri Jati, Pura Dalem, Pura Ulun Jagat, dan Pura Penataran Peed. Dusun Balitung sudah ada di Desa Sijuk sejak tahun 1991. Ada sekitar 130 kepala keluarga asal Bali yang hidup di sini. 

Sumber. Disparekraf Kabupaten Belitung dan dari berbagai sumber.