30 May 2015

Muhani Mahran Pejuang Kemerdekaan dari Sijuk

Untuk mempertahankan kemerdekaan RI dibentuklah suatu kekuatan tempur yang dinamai 'Laskar Rakyat Pejuang'. Muhani Mahran selaku pimpinan Pemuda Sijuk merupakan salah satu komandan tempur laskar rakyat yang bermarkas di Air Seruk Sijuk.

Pada tanggal 21 Oktober 1945, kapal perang HMS Tromp yang dinakhodai Kolonel Laut Stamp bersandar di Pelabuhan Tanjungpandan. Dalam kapal perang tersebut ikut serta tentara NICA yang dipimpin oleh Mayor Textor. Setibanya di Tanjungpandan, tentara NICA langsung menduduki kantor polisi, tangsi militer, kantor telegraf, dan rumah sakit. Mereka juga melakukan penjagaan ketat tempat-tempat yang mereka anggap strategis. Tindakan paling menyakitkan rakyat adalah sikap tentara NICA menurunkan Bendera Merah Putih di depan kantor polisi dan kantor telegraf.

Pertempuran Aik Seruk 28 November 1945 di Desa Air Seru, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung adalah kisah perjuangan paling dikenang sepanjang sejarah Pulau Belitung. Para pemuda bermodalkan senjata tajam melawan tentara NICA (Nederland Indies Civiel Administration) yang dilengkapi dengan senjata api.

Beberapa hari sebelum terjadinya kontak senjata dengan tentara NICA, pada 23 November 1945, terjadi pertemuan antara Mat Daud Malik dengan 10 orang tokoh pejuang Belitung. Saat itu, di kebun milik H Mas'oed, Mat Daud Malik memanggil Muhani Mahran selaku pimpinan Pemuda Sijuk, Madjid, Buceng, Mat Amin, Nawie serta beberapa tokoh pemuda eks Gyugun dan Heiho.

Melalui pertemuan itu dibentuklah suatu kekuatan tempur yang dinamai 'Laskar Rakyat Pejuang' atau setingkat Tentara Keamanan Rakyat di Jawa. Komandan Batalyon tempurnya diserahkan kepada Mat Daud Malik, dan salah satu komandan tempurnya Muhani Mahran. Kesatuan tempur yang terbentuk di Sijuk ini bermarkas di kediaman Mat Daud Malik di Air Seruk Sijuk.

Selanjutnya dari markas tersebut keluarlah perintah harian yang pertama kepada Muhani Mahran agar menghubungi seluruh eks Gyugun dan Heiho di mana pun berada, untuk bersiap-siap melawan Belanda/NICA.

Mat Daud Malik memerintahkan untuk mengirimkan beberapa orang ke Tanjungpandan untuk menyelidiki markas NICA di hotel Pantai Tanjungpandan dan kantor polisi tempat pejuang/pemimpin perjuangan ditahan. Pada malam itu juga Muhani Mahran mengirim utusan ke Tanjungpandan. Namun, pada 24 November 1945 pagi hari, dengan keyakinannya Muhani Mahran memutuskan lebih baik jika ia sendiri yang berangkat ke Tanjungpandan untuk menyelidiki kantor polisi dan hotel Pantai Tanjungpandan.

Dengan melakukan penyamaran, Muhani Mahran berangkat dari Sijuk pukul 06.00 Wib. Muhani juga sempat memerintahkan pemuda dari kampung Air Kala, Pelepak Putih, Gunung Langir, Sungai Padang, dan Munsang supaya berkumpul di Sijuk. Mat Daud Malik bersama para tokoh pejuang Belitung lainnnya, khusus di kampung Air Selumar tetap siaga di kampungnya sendiri. Sedangkan para pemuda dari Tanjung Binga, Kampung Baru, Tanjung Tinggi, Air Seruk dan Air Rembikang berkumpul di Air Seruk.

24 November 1945 sore hari, kota Tanjungpandan telah dijaga ketat oleh tentara NICA dengan menggunakan kendaraan bermotor, bersepeda maupun berjalan kaki. Kota Tanjungpandan sebetulnya dijaga ketat tentara NICA. Namun demikian, Muhani Mahran dapat tiba dengan selamat di rumah Kulup Kamarudin. Dari rumah ini Muhani Mahran menuju ke Hotel Pantai (markas NICA) untuk menemui ayahnya. Dengan dalih mengantar rantang berisi nasi, Muhani Mahran menyelipkan surat berisi berita bahwa akan diadakan penyerbuan pada tanggal 25 November 1945 pukul 04.00 WIB untuk membebaskan para pejuang yang menjadi tahanan NICA.

Setelah menyelidiki markas NICA di hotel Pantai Tanjungpandan dan kantor polisi tempat pejuang/pemimpin perjuangan ditahan selesai dilakukan. Sementara Muhani Mahran berkemas-kemas untuk kembali ke Sijuk, datang kurir yang membawa sepucuk surat dari R Margono (pimpinan tertinggi perjuangan di Tanjungpandan/pimpinan TKR Tanjungpandan). Surat tersebut berisi berita tentang rencana penyerbuan yang akan dilakukan pada tanggal 26 November 1945, malam hari. Diperintahkan juga untuk bersiap-siap menunggu perintah dari pucuk pimpinan.

Sesampainya di Aik Seruk, Muhani Mahran menyampaikan hasil penyelidikannya di markas NICA dan kantor polisi. Mat Daud Malik kemudian memerintah Rahidi, Iljas, Madjid Siadji, Madjid Achmad, dan Hasjim untuk mengatur pasukan. Pasukan mulai bergerak sejak pukul 03.00 WIB tanggal 25 November 1945 dari markas Aik Seruk. Setibanya di Aik Rembikang terjadi penggerebekan rumah mata-mata tentara NICA. Sayangnya mata-mata tersebut dapat melarikan diri walau dalam
keadaan terluka.

Ketika tiba di Aik Merebau pukul 06.00 WIB, pasukan pemuda Aik Seruk berpapasan dengan patroli polisi Belanda yang berkekuatan enam orang dan mengendarai sebuah truk. Para pemuda langsung mengadakan penyerangan terhadap patroli ini. Dalam penyerangan, pasukan pemuda Air Seruk dapat merampas truk, menangkap seorang polisi Belanda, dan mencederai seorang polisi
Belanda lainnya. Keempat polisi lainnya dapat menyelamatkan diri. Sambil mengejar polisi Belanda yang menyelamatkan diri, pasukan pemuda Air Seruk menebangi pohon-pohon di sepanjang jalan dengan maksud menjadikannya sebagai perintang.

Sesampainya di simpang empat Paal Satu Kampung Ujung, pasukan pemuda Aik Seruk dihadang pasukan militer Belanda.
Pertempuran tidak terelakkan. Walaupun persenjataan yang dimiliki tidak seimbang, pasukan pemuda Aik Seruk dengan gigih membalas tembakan pasukan militer Belanda. Dalam pertempuran ini gugur dua orang pemuda Aik Seruk yaitu, Mahidin Tedong dan Danie. Sedangkan dari pihak militer Belanda diketahui jatuh tiga orang korban.

Melihat situasi pertempuran yang tidak menguntungkan, Muhani Mahran yang menjadi komandan pasukan memerintahkan pasukan melakukan perlawanan sambil bergerak mundur sampai ke wilayah Aik Merebau, untuk kemudian mengkonsolidasikan kekuatan kembali. Pasukan militer Belanda tidak mau ketinggalan sasarannya dan terus mengadakan pengejaran sambil melancarkan tembakan membabi buta. Kontak senjata akhirnya terjadi lagi di Aik Merbau antara kedua pasukan. Karena kekuatan yang tak seimbang, pasukan pemuda Aik Seruk memilih melakukan gerakan mundur ke dalam hutan.

Dalam gerakan mundur ini, Muhani Mahran, Sa`amin, Nawawie, dan Herman terluka kena pelor yang ditembakkan militer Belanda. Pasukan pemuda Aik Seruk tidak dapat dikonsolidasikan lagi dan masing-masing kehilangan kontak komando. Sementara militer Belanda terus melakukan pengejaran terhadap pejuang yang telah kehilangan komando tersebut.

Pasukan militer Belanda yang terus melakukan pengejaran terhadap pasukan pemuda Aik Seruk akhirnya bertemu dengan pasukan pemuda lain yang berangkat pagi harinya dari Sijuk. Pertemuan terjadi di jembatan Aik Seruk. Pasukan militer Belanda turun dari kendaraan dan menyebar ke jalan sambil bergerak maju. Sementara pasukan pemuda menyelinap ke kiri kanan jalan dan di bawah jembatan. Mereka langsung menyongsong pasukan militer Belanda.

Dalam pertempuran jarak dekat ini gugur tiga orang pejuang, yaitu Ahim, Gaparman, dan Hayati Mahim. Secara sadis, tentara Belanda membawa lima jenazah pejuang yang gugur ke Pusat Pasar Tanjungpandan untuk dipertontonkan ke masyarakat. Cara ini diharapkan dapat menakut-nakuti rakyat supaya tidak mengadakan perlawanan terhadap militer Belanda.

Sekitar 1 bulan setelah peristiwa di aik seruk, masih ada serangan membabi buta tentara NICA yang dengan sengaja di datangkan dari batavia, di Selat Nasik dan Tanjong Lancor yang menewaskan warga selat nasik sebanyak 5 orang.

Khairul Efendi, punya kenangan yang kuat dengan mendiang ayahnya Muhani Mahran yang dulu berperang. Bekas peluru itu masih kelihatan di dada beliau ujar Mantan Bupati Belitung Timur ini.

Masyarakat Sijuk selayaknya bersyukur, semangat dan darah pejuang yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, mengalir kepada generasi saat ini. Mereka yang telah berhasil hari ini adalah buah peradaban masa lalu generasi sebelumnya.***

(Dari berbagai sumber)

28 May 2015

Mengenang Masa Lalu Meraih Masa Depan Belitong

Dimasa lalu, Sijok merupakan kota perdagangan yang sangat ramai, dermaga Sijok merupakan salah satu dermaga dengan arus lalu lintas perdagangan yang ramai pada masa itu. Saat ini, Sijok dengan panorama pantainya yang indah kembali ramai dikunjungi wisatawan. Pariwisata menjadi sektor yang digadang-gadang sebagai penggerak roda pembangunan Belitung paska pertambangan Timah.

Wilayah Sijuk pada masa Cakraninggrat III (KA Gending, tahun 1696-1700) Belitung dibagi dalam 4 (empat) ngabehi, Sijuk masuk dalam Ngabehi Sijuk dengan sebutan Wangsa Yudha atau Krama yudha. Pada masa Cakraninggrat VIII (KA Rahad, tahun 1821-1854) istilah ngabehi berubah menjadi Distrik, pada saat itu Distrik Sijuk dipimpin oleh Ngabehi Awang. Pada tahun 1890 Distrik Sijuk ditiadakan dan diganti statusnya menjadi Kelurahan Sijuk, jabatan lurah disebut Gemeentehoofd.

Saat ini Sijuk merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Belitung. Kabupaten Belitung dengan ibu kotanya Tanjungpandan, dipimpin oleh seorang Bupati Kepala Daerah. Wilayah ini di bagi kedalam beberapa kecamatan yaitu: Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Sijuk, Kecamatan Badau, Kecamatan Membalong dan Kecamatan Selat Nasik.

Di kecamatan Sijuk terdapat banyak objek wisata pantai yang menarik dan alami. Objek wisata itu antara lain Pantai Tanjung Binga, Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Tanjung Kelayang, Pulau Lengkuas, Pantai Penyaeran. Selain wisata pantai juga terdapat objek wisata alam lainnya seperti Pemandian Alam Tirta Marundang di Desa Air Seru selain itu juga terdapat bangunan bersejarah seperti Mesjid Sijuk dan Kelenteng Sijuk, bangunan lainnya adalah Menara Mercusuar di Pulau Lengkuas Tanjung Binga. Pariwisata di Sijuk didukung dengan pengembangan fasilitas Wisata seperti Bukit Berahu Cottage, Lord in Hotel, Kelayang indah Cottage dan Padang Golf Bebute dan Jimbaran Balitung.

Masyarakat Sijuk adalah tipe masyarakat prural. Pruralitas ini bisa dilihat dari variasi tempat ibadah masyarakatnya. Di Sijuk terdapat 19 Masjid, 1 gereja, 4 Pura dan 2 Vihara/kelenteng. Masjid Al Ikhlas dan Kelenteng Sijuk adalah bangunan tertua di Sijuk masing dibangun pada tahun 1817 dan 1815 yang menjadi bukti sejarah pruralitas masyarakat Sijuk. Pluralitas ini kembali terbukti dengan kerukunan masyarakat Sijuk dengan penganut agama Hindu yang datang dari Bali pada tahun 1991.

Dengan modal panorama pantai yang indah, bangunan bersejarah dan fasilitas penunjang wisata yang baik serta modal sosial masyarakat Sijuk yang prural, mengembalikan kejayaan Sijuk sama artinya dengan mengembalikan kejayaan Belitong paska pertambangan timah. Semoga.

(Dari berbagai sumber)

Potret Kerukunan antar Agama Masyarakat Sijuk

Perubahan sosial dan perbedaan keyakinan yang terjadi dalam masyarakat Sijuk tidak diikuti oleh keinginan untuk saling mengusik. Kerukunan beragama masyarakat Sijuk tercermin dari keberadaan tempat ibadah yang saling berdekatan dan lestari hingga kini.

Desa Wisata Sijuk terletak di utara Pulau Belitung, merupakan sebuah desa tua yang telah dikenal pada masa berkembangnya kerajaan lokal di Pulau Belitung. Wilayah Sijuk dikepalai oleh seorang Ngabehi bergelar Ngabehi Mangsa Yuda atau Krama Yuda. Gelar ini dihapuskan pada tahun 1890, dan Sijuk menjadi bagian dari wilayah distrik Tanjungpandan, dibawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Kini Sijuk merupakan wilayah kecamatan yang membawahi delapan desa, dengan ibukota kecamatan terletak di Desa Sijuk. Nama Sijuk, menurut cerita tutur setempat, berasal dari kata Sejuk, mengandung arti yang sama dengan kata sejuk dalam bahasa Indonesia sekarang.

Masyarakat Sijuk dulunya bertempat tinggal di keleka’ (rumah di tengah hutan dengan pekarangan yang ditanami pepohonan buah-buahan), yang saling berjauhan. Akhir abad ke-19, Asisten Residen Ecoma Verstage mengatur penduduk untuk tinggal dan membangun rumah di sepanjang sisi jalan yang baru dibangun, yang menghubungkan Tanjungpandan dengan Sijuk. Kini jejak rumah-rumah dengan artsitektur khas Belitung masih banyak terlihat di sepanjang Jalan Sijuk dan di Desa Sijuk sendiri. Kekayaan arsitektur ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Sijuk, dan menjadi keunikan Sijuk sebagai Desa Wisata yang mencerminkan budaya khas Belitung.

Dalam sejarahnya, penduduk asli Sijuk adalah etnis Melayu, sebagaimana tempat-tempat lain di Belitung. Ngabehi Sijuk pernah menjadi daerah perdagangan yang ramai dengan sebuah dermaga yang dilengkapi pasar di muara Sungai Sijuk. Perubahan besar pada wilayah ini terjadi pada masa kolonial, ketika Pelabuhan Sijuk menjadi tempat keluar-masuknya imigran-imigran Cina untuk dipekerjakan sebagai pekerja di pertambangan timah Belanda di Belitung. Berbagai barang kebutuhan Belanda juga didatangkan melalui pelabuhan ini. Komoditi yang terkenal pada masa itu adalah candu.

Mesjid Sijuk

Masjid Sijuk terletak di kawasan pemukiman lama yang disebut Kampong Ulu, dan diperkirakan sebagai pusat pemukiman Sijuk di masa lalu. Merupakan satu-satunya mesjid tua di Belitung yang masih bertahan hingga kini. Menurut cerita tutur setempat, mesjid ini  dirintis tahun 1817 oleh Tuk Dong dan penduduk Sijuk masa itu, sedangkan Islam mulai tersiar di Belitung sekitar abad ke-18. Ciri tradisional mesjid ini tampak pada bentuk atap bertumpang dua yang terbuat dari genteng tanah liat, dan bahan bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu. Meski sudah beberapa kali direnovasi, keaslian bentuk mesjid ini tetap dipertahankan. Kini mesjid tua Sijuk dinamakan Mesjid Al Ikhlas, dan terus dikembangkan susuai kebutuhan peribadatan dan wisata religi. Dilengkapi dengan shelter, toilet, dan tempat parkir, dengan jarak kurang dari 1 km dari kelenteng Sijuk.

Kelenteng Sijuk

Kelenteng Sijuk terletak di di Kampong Ilir pada kawasan yang pada periode kolonial  berkembang sebagai daerah pasar dan pelabuhan yang ramai. Merupakan pusat pemukiman etnis Cina di masa lalu sehingga dinamakan Kampong Cina. Keberadaan kelenteng ini tak terpisahkan dari kedatangan orang-orang Hakka yang didatangkan Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli-kuli di pertambangan timah Belitung, yang dimulai pada tahun 1853. Mereka masuk ke Belitung melalui pelabuhan Sijuk yang terletak di sisi barat Sungai Sijuk berseberangan dengan kelenteng ini.Kelenteng Sijuk menempati dataran tinggi di sebelah timur Sungai Sijuk, sehingga dari kelenteng ini dapat terlihat suasana di hilir Sungai Sijuk. Bangunan kelenteng didominasi warna merah dengan arsitektur yang sarat dengan filosofi Cina. Sepasang pagoda menyambut beberapa langkah di depan bangunan utama, di mana terdapat sebuah meja altar untuk meletakkan patung dewa, hio, dan berbagai property peribadatan. Kompleks Kelenteng Sijuk sudah dilengkapi dengan shelter, taman, dan area parkir yang cukup luas. Bangunan ini juga terpelihara dengan baik dan masih dipergunakan untuk peribadatan kaum Tionghoa Sijuk dan Belitung pada umumnya.

Pura Dusun Balitung

Letak Dusun Balitung tidak jauh dari kawasan pantai-pantai indah yang ada di Desa Sijuk. Sebuah gapura khas Bali akan menyambut begitu memasuki kampung ini. Masuk lebih ke dalam, akan disajikan pemandangan pura-pura yang berdiri megah di pinggir jalan. Selain itu, rumah-rumah dengan sentuhan Bali juga bisa dilihat di sini. Setidaknya ada 4 Pura di dusun Balitung yaitu Pura Puseh Desa Giri Jati, Pura Dalem, Pura Ulun Jagat, dan Pura Penataran Peed. Dusun Balitung sudah ada di Desa Sijuk sejak tahun 1991. Ada sekitar 130 kepala keluarga asal Bali yang hidup di sini. 

Sumber. Disparekraf Kabupaten Belitung dan dari berbagai sumber.