02 December 2011

LEGENDA BATU RAKIT

PADA zaman dahulu, karena ancaman yang terus menerus dari para lanun atau bajak laut yang datang merampok, membunuh dan meculik perempuan, hidup di pinggir pantai bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi penduduk pulau Belitung. Begitu pula dengan kehidupan di derah sijuk.
Penduduk daerah ini lebih memilih berdiam jauh di hutan-hutan.Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berkebun kecil-kecilan, hingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Di antara penduduk tersebut, adalah seorang dengan gagah berani bernarna Bujang Anom. Ia berfikiran bahwa hidup dalam bayang—bayang ketakutan dan tidak menyenangkan tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hingga satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah hanya dengan melawan para lanun tersebut. Pemikiran Bujang Anom ini wajar. Sebab ia dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa. Sehari-hari, Bujang Anom suka duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari pantai sekitar muara Sungai Sijuk. Dari batu besar itulah ia selalu mengintip kedatangan para lanun saat ingin menyerang penduduk yang tinggal di pedalaman melalui muara Sungai Sijuk.

Hatta, suatu hari dari kejauhan nampak benerapa buah perahu mendekat ke arah muara Sungai Sijuk. mengetahui kedatangan para lanun tersebut, penduduk pun segera bersiaga. Bersembunyi di semak—semak dengan senjata siap ditangan. Sementara itu, Bujang Anom bersiap di atas batu besar tempat ia biasa duduk untuk mengamati kedatangan para lanun tersebut.

Dengan segala kegarangannya, beberapa puluh tombak dari bibir pantai, dengan senjata terhunus para lanun telah bersiap siap turun dari perahu. Namun, belum sempat mereka menginjakkan kaki di dasar laut yang sedang surut, secara tiba-tiba dari balik sebuah batu besar muncul seorang pemuda. Pemuda yang sama sekali tak bersenjata itu adalah Bujang Anom.

Kemunculan Bujang Anom yang sangat tiba-tiba itu, kontan membuaat para lanun terkaget-kaget, hingga mereka urung turun dan perahu. Malah, hiruk pikuk teriakan para lanun yang siap turun ke pantai pun sontak berubah hening. Belum habis rasa kaget para lanun itu, tiba-tiba Bujang Anom memungut sebuah kerang besar berduri sangat tajam. Sekejap kemudian, dengan kedua belah kakinya, Bujang Anom menyepak-nyepak kerang berduri sangat tajam itu, bak memainkan bola kulit.

Pemandangan itu membuat para lanun kian terperangah. Kejadian seperti itu, dalam sejarah kejahatan mereka belum pernah ditemui. Hingga mereka berfikiran, pastilah pemuda yang menyepak kerang berduri tajam tersebut bukan orang sembarangan. Tak mau mati konyol, seorang pimpinan para lanun itu turun ke pantai, mendatangi Bujang Anom. “Bolehkah kami masuk dan menambatkan tali sauh kami, hai orang muda,” Serunya.

"Tidak bisa!” jawab Bujang Anom. “Daerah ini bukan tempat bagi orang-orang jahat,” lanjutnya lagi sambil naik ke atas batu tempat ia biasa duduk. Sambil berdiri di atas batu itu, ia berteriak menantang, "Kalau ada yang berani melewati batU ini langkahi dulu mayatku !!" Sekejab kemudian Bujang Anom menendang kerang berduri ke arah sebuah perahu para lanun hingga perahu itu karam dan hanyut dibawa arus sungai Sijuk.

Melihat situasi tak menguntungkan ini, pemimpin lanun yang tadi berbicara dengan Bujang Anom bertanya kembali, "Dimanakah penduduk daerah sini ? Siapa kepala Adatnya?" "Akulah orangnya !" jawab Bujang Anom lantang. "Seluruh anak buahku, penduduk sekitar tempat ini, berada di gunung. Selangkah kau mendarat di tanah seluruh perahumu kuhancur kan," teriak Bujang Anom lagi.

Mendapat jawaban demikian seketika terkesimalah para lanun tadi. Karena situasi tak menguntungkan tersebut mereka pun urung melanjutkan rencana jahatnya. Sekejap kemudian mereka memutar balik perahu masing-masing dan kembali ke tengah laut.

Namun, aneh bin ajaib. Begitu perahu lanun itu berbalik arah menuju ke tengah lautan, seketika itu pula Bujang Anom raib. Tak ada jejak yang ia tinggalkan, kecuali sebuab batu besar dengan permukaan datar, mirip sebuah meja.

Sementara itu, semua penduduk yang sebelumnnya memang telah siap dengan senjata di tangan, satu persatu mulai menampakkan diri, keluar dari semak-semak. Tapi, tak urung mereka pun diliputi keheranan luar biasa. Bujang Anom yang selama ini mereka kenal sebagai manusia biasa, tiba-tiba menghilang. Malah, sejak kejadian itu, Bujang Anom tak pernah lagi muncul di tengah penduduk. Singkat cerita, sejak kejadian tersebut, penduduk Kampung Sijuk bisa hidup damai bebas dari gangguan para lanun. Perlahan mereka pun mulai menggantungkan hidup dari hasil laut.

Sementara batu tempat Bujang Anom berdiri, oleh penduduk setempat dinamai Batu Meja --sebagian penduduk ada yang menyebutnya Batu Rakit-- dan dikeramatkan.

(Sumber. Buku cerite Kampong, November 2005)